Kesulitan sebagian orang dalam memahami diskursus keilmuan tertentu, atau ketidaksempurnaan pemahaman terhadapnya yang mengakibatkan kesalahpahaman dan terkadang fatal karena belum memahami mukadimah ilmu. Mukadimah (permulaan/pembukaan) dalam ilmu ialah pintu masuk bagi penuntut ilmu dalam memahami satu bidang studi sebelum menyelam lebih dalam ke pusatnya.
Dalam membahas permasalahan ini, para ulama berbeda pendapat dalam menentukan jumlah dari mukadimah ilmu. At-Taftazani (792 H) dalam kitabnya al-Mutawal membagi mukadimah ilmu dalam 3 bagian: pengetahuan tentang definisi; tujuan; dan tema ilmu tersebut1. Jika kita perhatikan kesimpulan yang diambil oleh beliau maka dapat kita pahami bahwa mukadimah ilmu tidak terbatas untuk ilmu apapun baik itu ilmu agama ataupun ilmu umum. Dan 3 bagian itu hanya mencakup inti dalam ilmu itu sendiri, sehingga hal-hal yang bersifat eksternal dalam dasar ilmu seperti peletak dasar, nama, sumber, dan masalah-masalah yang terkandung didalamnya tidak terjamah dan tidak terkategori dalam pintu masuk memahami keutuhan ilmu.
Jika mukadimah ilmu hanya terbatas pada 3 hal saja, maka banyak sekali dasar ilmu lain yang tidak terjamah. Maka penyempurnaan dasar keilmuan ini dilengkapi oleh salah satu ulama asal Mesir Muhammad bin Ali as-Shoban (1206 H) dalam syair terkenalnya yang dinamakan al-Mabadi’ al-Asyarah.
إن مبادئ كل فن عشرة الحد والموضوع ثم ثمرة
نسبة وفضله والواضع والاسم والاستمداد حكم الشارع
مسائل والبعض بالبعض اكتفى ومن درى الجميع حاز الشرفا
Arti: sesungguhnya mabadi’/dasar setiap ilmu ada 10, al-Had (definisi), al-Maudhu’ (pokok bahasan), kemudian Tsamaroh (hasil yang diperoleh), Nisbah (nilai ilmu), Fadl (keutamaannya), al-Wadi’ (peletak dasar ilmu), al-Ism (nama), al-Istimdad (dasar pengambilan ilmu), Hukmu asy-Syari (hukum ilmu dan tinjauan syariat terhadapnya), dan Masail (masalah-masalah yang dibahas dalam ilmu tersebut). Sebagian mabadi’ menjadi cukup dengan sebagian lainnya. Dan siapa memahaminya (mabadi’) akan memperoleh kedudukan yang mulia2.
Sebenarnya Syaikh as-Shoban bukanlah yang pertama kali menulikan syair tentang al-Mabadi’ al-Asyarah, sebelumnya syaikh Ahmad at-Tilmisani (1041 H) menuliskan syairnya tentang mabadi’ tersebut dalam kitabnya Idho’at ad-Dujunnah3.
Jika kita bandingkan mukadimah ilmu versi at-Taftazani dan al-Mabadi’ al-Asyarah as-Shoban dan at-Tilmisani, maka tidak ada perbedaan yang berarti. Justru al-Mabadi’ al-Asyarah melengkapi apa yang diteorikan oleh at-Taftazani.
Sebagaimana yang sudah diterangkan. Mukadimah ilmu menurut at-Taftazani lebih membahas tentang pengantar inti ilmu itu sendiri, dan beliau tidak membahas aspek-aspek lain yang bisa dikategorikan sebagai mukadimah ilmu. Jika kita bandingkan dengan al-Mabadi al-Asyarah maka ada beberapa aspek yang mengena kepada internal ilmu itu sendiri, seperti Nisbah (nilai ilmu), Fadl (keutamaannya), dan Masail (masalah-masalah yang dibahas dalam ilmu tersebut). Tiga hal ini tidak disebut oleh at-Taftazani dalam al-Mutawalnya. Adapun al-Wadi’ (peletak dasar ilmu), al-Ism (nama), al-Istimdad (dasar pengambilan ilmu) merupakan aspek eksternal dari ilmu tersebut dan juga sebagai penentu kesempurnaan hakikat mukadimah ilmu. Sedangkan Hukmu asy-Syari (hukum ilmu dan tinjauan syariat terhadapnya) merupakan bentuk penyempurna ilmu tersebut, karena dasar ilmu dari Allah sehingga segala hal yang dikategorikan sebagai ilmu perlu adanya timbangan syariat didalamnya.
Timbul pertanyaan. Apakah mukadimah ilmu hanya ada 10 atau bisa lebih? Sejatinya mukadimah/mabadi’ ilmu tidak terbatas dan bisa ditambah sesuai dengan ilmu yang dibahas. Hal ini dikemukakan oleh ibnu Amiiri al-Hajj (879 H) dalam kitabnya at-Taqrir wa at-Tahbir bahwa pembatasan mukadimah tidak bisa dilakukan secara mutlak. Karena mabadi’ yang dikemukakan para ulama hanyalah teori yang mereka buat dan tidak bermaksud membatasi. Bisa jadi ada hal lain yang bisa dikategorikan kedalam mukadimah, atau bagian darinya (mabadi’) menempati tempat mabda’ lain yang belum diketahui disebagian ilmu4.
1 At-Taftazani, al-Mutawal, dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2013. Hal: 138
2 Al-Qalawi, Fath Rabbi al-Bariyah maktabah al-asadi. Hal: 2
3 At-Tilmisani, Idho’at ad-Dujunnah, maktabah makhtutat al-Azhar asy-Syarif. Hal: 4
4 Ibnu Amiir al-Hajj, At-Taqrir wa at-Tahbir, dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999. Hal: 22