Blogs
Berita terbaru
Artikel Pemuda

Penolakan ASEAN Queer Advocacy Week (AAW)
LGBTQI+ merupakan penyimpangan dan bertentangan dengan spirit agama dan bangsa. Sehingga, segala upaya pembelaan dan normalisasi harus DITOLAK termasuk ASEAN Queer Advocacy Week.
TOLAK ASEAN Queer Advocacy Week dan pemikiran LGBTQI+!!!

Al-Irsyad Butuh Narasi Baru dan Berkelanjutan
Al-Irsyad adalah salah satu organisasi terbesar di Indonesia. Iya besar, historisnya. Jika ingin ditambahkan yaitu nama besar Syaikh Ahmad Surkati. Selebihnya, Tidak ada jaminan dan ukuran yang jelas bahwa selain dua hal itu, juga dapat disebut sebagai pertanda kebesaran Al-Irsyad. Entah itu lembaga pendidikan, cendikiawan, ataupun gedung sekretariatnya. Jika pertanyaan itu ditujukan pada kalangan Irsyadi garis lucu, maka jawabannya adalah: “konfliknya yang besar.” Jawaban itu ada kiranya benar. Dualisme di Al-Irsyad bahkan berujung di Mahkamah Agung dan menghasilkan organisasi sempalan. Syukur alhamdulillah bahwa konflik baru-baru ini dapat diselesaikan dengan musyawarah, solusi yang memang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Konflik yang masih lestari ini bisa jadi tak kunjung padam karena tidak ada narasi lain dimunculkan dan dipelihara oleh Irsyadiyyin di seluruh Indonesia. Narasi lain itulah yang mesti dimunculkan untuk menutupi dan mengalihkan pandangan dari ‘bau konflik’ terus menerus. Irsyadiyyin se-Nusantara perlu difokuskan pada narasi-narasi baru nan menarik perhatian. Tentunya harus dikelola dan dijaga baik oleh para pimpinan. Narasi Ideologi Sebagai Basis Kelahiran dan Kelestarian Organisasi Jika dipandang dari sejarah berdirinya, Al-Irsyad lahir dari narasi kesetaraan dan pendidikan modern yang digaungkan oleh Syaikh Ahmad Surkati. Konflik dengan ba’alwi memang menjadi percikan awal, namun konflik itu bukanlah faktor tunggal, justru hanya kausalitas saja. Jika momen konflik itu berdiri sendiri dan tidak diberi narasi baru oleh Syaikh Ahmad, tidak bakal berdiri Al-Irsyad. Sangat memungkinkan jika Syaikh Ahmad hanya fokus pada penyelesaian konflik, maka beliau akan berdialog tertutup, mengadakan konferensi pers, berterima kasih dan meminta maaf kepada semua pihak, lalu pamit pulang dan pulang ke Sudan atau ke Mekkah untuk mengajar. Namun ternyata beliau tidak seperti itu. Syaikh Ahmad yang didukung oleh pengikut setianya berusaha untuk menjadikan momen konflik itu sebagai titik menghidupkan narasi kesetaraan dan pendidikan modern. Narasi itu kemudian disebar dan ditanamkan sebagai ideologi kepada para pengikutnya di seluruh Indonesia. Sehingga mereka semua bersemangat untuk mendirikan cabang, sekolah, dan mengembangkan aktivitas organisasi di tiap-tiap daerah. Narasi terbukti menghasilkan perkumpulan, semangat, gerakan, hingga harta dan gedung-gedung bertingkat. Konflik memang akan terus ada sebagai hukum alam atas adanya perbedaan pendapat. Namun dengan sistem kelola organisasi dan kelola narasi yang apik, semangat dan gerakan itu akan terus ada. Tengok saja organisasi sebelah yang gencar mengumandangkan narasi Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan. Terlepas dari benar salahnya, narasi mereka memang terbukti menghasilkan sesuatu. Namun kini, narasi apa yang dibuat oleh Al-Irsyad Al-Islamiyyah? Haduh, menyebut Al-Irsyad saja mesti ditambahkan Al-Islamiyyah. Jika tidak, nanti dikira partisan sempalan. Tidak simpel, tidak modern. Minimnya Produksi/tor Narasi Soal ketiadaan narasi ini tidaklah perlu menyalahkan siapapun. Anggaplah ini kesalahan bersama. Karena baik di pusat maupun di daerah sama-sama tidak memiliki narasi dan pembuatnya. Ormas memang memiliki kantor pusat di ibukota, namun para tokohnya tersebar di berbagai daerah. Sebagi pimpinan cabang maupun sebagai sesepuh organisasi. Dalam pengamatan yang singkat dan sempit, sangat sulit menemukan cendikiawan maupun ustadz-ustadzah dari kalangan Al-Irsyad, terlebih yang murni lahir dari rahim organisasi berlambang hati dan sayap ini. Padahal, cendikiawan dan asatidz adalah corong penyuaraan ide dan gagasan organisasi. Dengan merekalah, narasi organisasi memiliki landasan, baik landasan akademis maupun landasan agama. Tanpa kedua landasan itu, narasi yang dihasilkan tidaklah memiliki kekuatan pertanggung jawaban. Organisasi, komunitas atau perkumpulan manapun memang tidak selalu membutuhkan gagasan yang valid dan mempunyai landasan akademis untuk bisa bersuara dan populer di mata masyarakat. Hanya bermodalkan sensasi atau pemenuhan keinginan, popularitas dan follower akan dapat diraih. Terlebih jika memiliki uang yang cukup banyak, pasukan pun bisa dibentuk. Namun, itu hanya bersifat sementara. Adapun ormas butuh berkelanjutan. Bagaimana mungkin dapat menciptakan narasi ideal namun tidak memiliki pembuatnya? Anggaplah jika ada satu pembuat, namun siapa yang dapat menyebarkan dan menanamkannya di daerah-daerah? Apabila ada kesalahan tafsiran di akar rumput, siapa yang akan memberikan pemahaman? Dan jika terjadi kontra narasi yang dilontarkan oleh pihak lain, siapa yang akan memberikan klarifikasi? Pertanyaan-pertanyaan itu pasti muncul di berbagai kalangan, baik dari internal maupun eksternal. Maka, pembuat narasi mesti benar-benar orang yang berkompeten di bidangnya. Selain memiliki landasan pemikiran yang kokoh, aspek komunikatif dalam tata bahasa sang narasi juga menjadi hal krusial. Hal ini penting agar narasi benar-benar tersampaikan dengan padat, jelas, dan mengurangi potensi kesalah pahaman. Inilah yang dirasa minim di Al-Irsyad. Ustadz memang ada banyak. Namun Ustadz yang ‘bisa menulis’, tak yakin melebihi jari-jari di satu tangan. Lulusan S2 dan S3 memang ada banyak. Namun di sebuah Universitas sekalipun, tak semua dosen ‘bisa menulis’, apalagi di Al-Irsyad. Maka soal narasi, tidak hanya narasi itu sendiri masalahnya. Pencipta narasi juga menjadi hal krusial yang sama pentingnya. Jika keduanya tidak dipenuhi, selamanya tidak aka nada gagasan-gagasan yang dikumandangkan dan diperjuangkan oleh Al-Irsyad. Inkubator Narator Sebagai alternatif solusi atas permasalahan yang dikemukakan di atas, maka jawabannya adalah pembibitan, penyiapan, dan pelatihan narator-narator baru Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Langkah ini sebagai alternatif solusi, perlu segera dipersiapkan dan diadakan. Terlebih jika berorientasi jangka panjang. Jika Ustadz tidak ada dan cendikiawan juga tidak ada, maka satu-satunya yang perlu ada adalah pencetakan ustadz dan cendikiawan yang dapat membuat narator. Jika ketiganya tidak ada, maka beginilah nasib Al-Irsyad dalam 10 tahun ke depan. Namun jika dipersiapkan sejak dini, tidak menutup kemungkinan jika tahun depan sudah muncul narasi pemersatu Irsyadi. Salah seorang kawan dari Muhammadiyah, mendapat pelatihan kepenulisan yang diadakan oleh PW Muhammadiyah Jawa Timur. Kawan tersebut tidak memiliki latar belakang menulis sama sekali. Dia hanya suka membaca buku, dengan daya baca yang tak juga tinggi. Namun setelah pelatihan itu, ia menjadi aktif menulis. Story whatsapp tidak lepas dari update tulisannya di situs PWM Jatim. Hampir tiap hari ia menulis. Kawan tersebut sering diminta untuk hadir sebagai reporter dalam kegiatan-kegiatan Muhammadiyah, baik dari sekolah, rumah sakit, hingga kegiatan Ortom yang bersifat non-formal. Dalam hal ini, Muhammadiyah dan seorang kawna tersebut sama-sama diuntungkan. Begitu pula salah seorang kawan lain dari NU. Kita tahu bahwa Nahdliyyin memiliki banyak portal yang tak kalah bagusnya dari situs resmi NU. Nah, sang kawan tersebut diajak untuk menjadi kontributor di salah satu portal tersebut. Jika dilihat dari kualitas tulisannya, tidak sampai pada tahap ‘memenuhi kualitas akademik’. Namun memang bukan itu tujuan rekrutmennya. Mereka hanya butuh penerus. Pelibatan anak-anak muda ormas adalah untuk mengkader pencetak dan pelestari narasi.

Pernyataan Sikap : Rancangan Undang – Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP)
Puji syukur kehadirat Allah S.W.T yang telah memberikan kita segala nikmat-Nya terutama nikmat iman. Shalawat dan salam kita haturkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad S.A.W, para keluarganya, sahabatnya dan pengikutnya hingga akhir zaman. Kami dari Pengurus Pemuda Al-Irsyad merasa perlu menyampaikan sikap sebagai pendapat resmi kami atas Rancangan Undang – undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), yaitu : Kami memandang bahwa RUU HIP tidak memuat filosofi Pancasila seperti yang telah ditetapkan oleh Founding Fathers kita pada Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 yang diberlakukan kembali oleh Dekrit Presiden tahun 1959. Sehingga Pancasila yang dijadikan objek pada RUU HIP adalah Pancasila yang tidak punya dasar hukum dengan pendirian awal negara Republik Indonesia. Kami menilai bahwa tidak ada satupun pasal yang membahas tentang musuh atau ancaman ideologi Pancasila yaitu Komunis/Marxisme/Leninisme yang secara jelas telah dilarang melalui TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966. Sehingga bagi kami, RUU HIP ini tidak menjiwai dan menghayati luka yang mendalam dari bangsa dan negara Indonesia yaitu terjadinya pengkhianatan Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap ideologi Pancasila baik pada tahun 1948 maupun pada tahun 1965. Kami memandang bahwa UU HIP yang sedang dirancang sekarang adalah produk ulang dari Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang berusaha dihidupkan kembali karena adanya institusionalisasi dalam membina haluan ideologi Pancasila termasuk didalamnya mengadakan diklat dan pelatihan seperti layaknya pelaksanaan P4 pada masa lalu (Lihat Pasal 39 hingga Pasal 53 RUU HIP). Pada zaman Orde Baru, pelaksanaan P4 sarat dengan tafsiran pengamalan Pancasila versi penguasa pada saat itu dan lebih banyak berfungsi menjadi “tameng” penguasa Orde Baru untuk menjalankan praktek praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sekaligus untuk menjustifikasi tindakan zalim kepada lawan lawan politik rezim orde baru pada saat itu. Dengan adanya era reformasi pada tahun 1998, akhirnya P4 telah dicabut oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVIII/MPR/1998. Sehingga menghidupkan kembali peraturan perundang-undangan yang mirip dengan P4 pada masa lalu sama saja dengan mengkhianati amanat reformasi yang telah menjadi kesepakatan bangsa Indonesia. Atas dasar sejarah buruk dalam pelaksanaan P4 pada masa lalu, maka kami khawatir UU HIP dilaksanakan seperti pada masa lalu. Padahal secara kelembagaan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) selama ini telah berfungsi sebagai Lembaga yang dapat membina haluan ideologi Pancasila melalui program yang dikenal dengan “Sosialisasi Empat Pilar” sebagaimana bunyi Tata Tertib Majlis Permusyawaratan Rakyat nomor 1 tahun 2014, Pasal 6 (b) yang menyatakan bahwa MPR bertugas untuk memasyarakatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika sehingga tidak dibutuhkan kelembagaan baru dalam hal pembinaan ideologi Pancasila. Kami memandang bahwa Tugas MPR RI yang memasyarakatkan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika sudah cukup untuk menjadi haluan bagi bangsa ini untuk mengarahkan ideologi Pancasila secara benar dan konsekuen. MPR RI merupakan Lembaga Negara yang mewakili kedaulatan Rakyat Indonesia sehingga telah benar benar mencerminkan konfigurasi Suku, Agama, Ras dan Etnis dari seluruh Rakyat Indonesia. Dengan demikian, MPR RI dapat memasyarakatkan Pancasila dengan tafsir dan pengamalan yang beragam sesuai dengan keberagaman Suku, Agama, Ras dan Etnis di Indonesia sebagai antitesa dari UU HIP yang akan membentuk Badan-badan Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila sebagai pengarah pembangunan dan politik nasional (RUU HIP Pasal 45) yang sangat beresiko akan terjadinya penyeragaman tafsir dan pengamalan Pancasila sehingga bangsa kita kembali mundur kebelakang ( Set Back ) karena membuka peluang kembalinya bentuk otoritarianisme seperti zaman Orde Baru. Apalagi Badan-badan Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila yang dibentuk akan menghabiskan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (Pasal 55 RUU HIP) ditengah kondisi keuangan negara kita yang tidak kondusif dan hutang negara yang terus membengkak. Kami menilai bahwa naskah dan materi RUU HIP hampir mirip seperti GBHN pada masa orde baru yang juga berisi norma hukum yang mengarahkan arah pembangunan nasional. Padahal GBHN telah dicabut oleh TAP MPR Nomor IX/MPR/1998 sebagai amanat reformasi karena naskah dan materi muatannya tidak lagi sesuai dengan situasi dan kondisi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dewasa ini sehingga tidak dapat berfungsi sebagai pemberi arah bagi perjuangan dan pembangunan bangsa dalam mewujudkan cita – citanya seperti yang tertulis pada point (b) pada klausul “Menimbang”. GBHN telah digantikan oleh produk peraturan perundang undangan yang sudah ada seperti UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sisitem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU Nomor 17 tahun 2017 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 hingga 2025 yang berisi arah pembangunan nasional. Sehingga menghidupkan kembali Undang-undang yang berfungsi seperti layaknya GBHN adalah sebuah langkah mundur bangsa kita dan tumpang tindih dengan Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada. Kami memandang terdapat kesalahan logika hukum dalam Bagian Ketiga, Pasal 4 ayat (b) pada RUU HIP dinyatakan bahwa Haluan Ideologi Pancasila bertujuan (b) Sebagai arah bagi setiap warga negara Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, ayat ini secara tidak langsung menjadikan UU HIP menjadi lebih tinggi kedudukannya daripada Pancasila itu sendiri yang menjadi Ideologi Negara. Karena menurut kami Pancasila justru menjadi dasar, arah sekaligus pedoman bagi setiap warga negara Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Berdasarkan 7 poin diatas, maka dengan ini kami Pemuda Al-Irsyad dengan tegas menyatak sikap sebagai berikut: Menolak keras Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) dan menuntut agar seluruh upaya legislasi yang dilakukan baik perumusan, pembahasan dan pengesahannya untuk segera dihentikan. Menuntut Pimpinan & Paripurna Sidang DPR RI untuk membatalkan proses legislasi RUU HIP yang berpotensi merombak, mengkerdilkan dan mendegradasi Pancasila yang merupakan dasar negara sekaligus sumber dari segala sumber hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menuntut Pemerintah dalam hal ini Presiden RI untuk tidak mengesahkan RUU HIP yang berpotensi menjerumuskan bangsa ini ke dalam perpecahan serta mengusut tuntas inisiatornya yang amat dimungkinkan membawa misi yang mengancam keutuhan NKRI yang berdasar Pancasila dan UUD 1945. Menyerukan kepada seluruh rakyat, ulama dan cendekiawan, tokoh masyarakat serta para aktivis yang peduli terhadap keutuhan NKRI yang berdasar Pancasila dan UUD 1945 untuk mewaspadai bangkitnya gerakan komunis gaya baru yang memasuki ruang-ruang kekuasaan, baik di lembaga eksekutif maupun legislatif yang melenggangkan jalan penguasaan anasir komunis melalui kemasan investasi, kucuran bantuan atau sejenisnya. Meminta dengan hormat kepada Garda Terdepan Bangsa yaitu TNI, Polri dan segenap unsur ketahanan masyarakat yang berjiwa nasionalis untuk segera melakukan tindakan masif terhadap setiap

Ibadah Saat Wabah Berjangkit
Sehubungan dengan semakin dekatnya bulan Ramadhan 1441 H yang sangat kita rindukan karena banyaknya pelipat gandaan pahala serta besarnya ampunan yang Allah sediakan buat orang-orang beriman di tengah suasana pandemi global Covid-19, maka kami perlu memberikan arahan singkat pelaksanaan ibadah di bulan Ramadhan tersebut, dengan bermohon kepada Allah agar kita menjadi orang-orang yang dikarunia ampunan dan pahala oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kepada seluruh warga Al Irsyad Al Islamiyyah hendaknya terus menjaga semangat beribadah kepada Allah dan mengikuti arahan yang datang dari pemerintah maupun ulama serta para ahli kesehatan agar terpelihara kesehatan baik jasmani maupun rohani. Menghidupkan Ramadhan di masa Wabah Corona Demikian bayan ini disampaikan, semoga kita semua selalu dalam lindungan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jakarta, 28 Sya`ban 1441H./22 April 2020 M.PIMPINAN PUSAT AL-IRSYAD AL-ISLAMIYYAH

Mukadimah Ilmu
Kesulitan sebagian orang dalam memahami diskursus keilmuan tertentu, atau ketidaksempurnaan pemahaman terhadapnya yang mengakibatkan kesalahpahaman dan terkadang fatal karena belum memahami mukadimah ilmu. Mukadimah (permulaan/pembukaan) dalam ilmu ialah pintu masuk bagi penuntut ilmu dalam memahami satu bidang studi sebelum menyelam lebih dalam ke pusatnya. Dalam membahas permasalahan ini, para ulama berbeda pendapat dalam menentukan jumlah dari mukadimah ilmu. At-Taftazani (792 H) dalam kitabnya al-Mutawal membagi mukadimah ilmu dalam 3 bagian: pengetahuan tentang definisi; tujuan; dan tema ilmu tersebut1. Jika kita perhatikan kesimpulan yang diambil oleh beliau maka dapat kita pahami bahwa mukadimah ilmu tidak terbatas untuk ilmu apapun baik itu ilmu agama ataupun ilmu umum. Dan 3 bagian itu hanya mencakup inti dalam ilmu itu sendiri, sehingga hal-hal yang bersifat eksternal dalam dasar ilmu seperti peletak dasar, nama, sumber, dan masalah-masalah yang terkandung didalamnya tidak terjamah dan tidak terkategori dalam pintu masuk memahami keutuhan ilmu. Jika mukadimah ilmu hanya terbatas pada 3 hal saja, maka banyak sekali dasar ilmu lain yang tidak terjamah. Maka penyempurnaan dasar keilmuan ini dilengkapi oleh salah satu ulama asal Mesir Muhammad bin Ali as-Shoban (1206 H) dalam syair terkenalnya yang dinamakan al-Mabadi’ al-Asyarah. إن مبادئ كل فن عشرة الحد والموضوع ثم ثمرة نسبة وفضله والواضع والاسم والاستمداد حكم الشارع مسائل والبعض بالبعض اكتفى ومن درى الجميع حاز الشرفا Arti: sesungguhnya mabadi’/dasar setiap ilmu ada 10, al-Had (definisi), al-Maudhu’ (pokok bahasan), kemudian Tsamaroh (hasil yang diperoleh), Nisbah (nilai ilmu), Fadl (keutamaannya), al-Wadi’ (peletak dasar ilmu), al-Ism (nama), al-Istimdad (dasar pengambilan ilmu), Hukmu asy-Syari (hukum ilmu dan tinjauan syariat terhadapnya), dan Masail (masalah-masalah yang dibahas dalam ilmu tersebut). Sebagian mabadi’ menjadi cukup dengan sebagian lainnya. Dan siapa memahaminya (mabadi’) akan memperoleh kedudukan yang mulia2. Sebenarnya Syaikh as-Shoban bukanlah yang pertama kali menulikan syair tentang al-Mabadi’ al-Asyarah, sebelumnya syaikh Ahmad at-Tilmisani (1041 H) menuliskan syairnya tentang mabadi’ tersebut dalam kitabnya Idho’at ad-Dujunnah3. Jika kita bandingkan mukadimah ilmu versi at-Taftazani dan al-Mabadi’ al-Asyarah as-Shoban dan at-Tilmisani, maka tidak ada perbedaan yang berarti. Justru al-Mabadi’ al-Asyarah melengkapi apa yang diteorikan oleh at-Taftazani. Sebagaimana yang sudah diterangkan. Mukadimah ilmu menurut at-Taftazani lebih membahas tentang pengantar inti ilmu itu sendiri, dan beliau tidak membahas aspek-aspek lain yang bisa dikategorikan sebagai mukadimah ilmu. Jika kita bandingkan dengan al-Mabadi al-Asyarah maka ada beberapa aspek yang mengena kepada internal ilmu itu sendiri, seperti Nisbah (nilai ilmu), Fadl (keutamaannya), dan Masail (masalah-masalah yang dibahas dalam ilmu tersebut). Tiga hal ini tidak disebut oleh at-Taftazani dalam al-Mutawalnya. Adapun al-Wadi’ (peletak dasar ilmu), al-Ism (nama), al-Istimdad (dasar pengambilan ilmu) merupakan aspek eksternal dari ilmu tersebut dan juga sebagai penentu kesempurnaan hakikat mukadimah ilmu. Sedangkan Hukmu asy-Syari (hukum ilmu dan tinjauan syariat terhadapnya) merupakan bentuk penyempurna ilmu tersebut, karena dasar ilmu dari Allah sehingga segala hal yang dikategorikan sebagai ilmu perlu adanya timbangan syariat didalamnya. Timbul pertanyaan. Apakah mukadimah ilmu hanya ada 10 atau bisa lebih? Sejatinya mukadimah/mabadi’ ilmu tidak terbatas dan bisa ditambah sesuai dengan ilmu yang dibahas. Hal ini dikemukakan oleh ibnu Amiiri al-Hajj (879 H) dalam kitabnya at-Taqrir wa at-Tahbir bahwa pembatasan mukadimah tidak bisa dilakukan secara mutlak. Karena mabadi’ yang dikemukakan para ulama hanyalah teori yang mereka buat dan tidak bermaksud membatasi. Bisa jadi ada hal lain yang bisa dikategorikan kedalam mukadimah, atau bagian darinya (mabadi’) menempati tempat mabda’ lain yang belum diketahui disebagian ilmu4. 1 At-Taftazani, al-Mutawal, dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2013. Hal: 138 2 Al-Qalawi, Fath Rabbi al-Bariyah maktabah al-asadi. Hal: 2 3 At-Tilmisani, Idho’at ad-Dujunnah, maktabah makhtutat al-Azhar asy-Syarif. Hal: 4 4 Ibnu Amiir al-Hajj, At-Taqrir wa at-Tahbir, dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999. Hal: 22

Pengorbanan untuk Islam
Setiap manusia memiliki naluri untuk mempertahankan apa yang ia cintai dan ia senangi. Hal ini sesuai dengan fitrah yang telah Allah tanamkan dalam setiap jiwa. Sebagaimana firman Allah SWT, “Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (Ali ‘Imraan: 14) Dengan naluri itu pula ia berusaha untuk mendapatkan pasangan hidup, kekayaan, keturunan, kedudukan dan lainnya. Kondisi ini dialami oleh setiap manusia tanpa terkecuali termasuk orang-orang yang beriman. Hanya saja orang-orang yang beriman kepada Allah dapat mengontrol naluri tersebut sesuai dengan aturan Allah walaupun hal itu bertentangan dengan syahwat dan keinginannya. Mereka sadar bahwa keimanan menuntutnya untuk taat dan tunduk pada aturan Allah, sebagaimana yang tertera dalam sebuah hadits, “Iman bukanlah sebuah angan-angan belaka, akan tetapi yang dikatakan iman ialah yang tertanam kuat dalam hati dan dibuktikan dengan amal perbuatan.” Ketika manusia memiliki keimanan yang benar kepada Allah, akan tumbuh di dalam dirinya kesiapan untuk menjalani segala yang diperintahkan dan ditentukan oleh Allah. Ia pun siap untuk berkorban demi mendapatkan ridha dari Allah. Bahkan, ia rela mengorbankan apa yang ia miliki dan cintai hanya untuk Allah, sebab rasa cintanya kepada-Nya mengalahkan rasa cintanya kepada yang lain-Nya. Sejauh mana kekuatan iman yang dimiliki oleh seorang muslim tidak hanya bisa dibuktikan dengan sebatas pengakuan lisan saja, tetapi pengorbanan yang ia berikan untuk Allah lah yang bisa membedakan siapakah yang memiliki keimanan yang kokoh. Semakin kuat keimanannya, maka akan semakin besar pengorbanan yang akan ia berikan untuk Islam. Nabi Ibrahim merupakan sosok panutan yang bisa dijadikan contoh dalam hal pengorbanannya untuk Allah. Berbagai macam ujian telah ia lewati dengan pengorbanan yang tidak sedikit. Sejak masa muda hingga menjadi orang tua, ujian demi ujian datang silih berganti. Dimulai dari ujian yang datang dari ayahnya sendiri, kemudian kaumnya, hingga ujian untuk menyembelih putranya Ismail. Namun, semua ujian itu berhasil ia jalani dengan sempurna. Ia rela mengorbankan apa yang ia cintai untuk mendapatkan ridha-Nya, sehingga jadilah Nabi Ibrahim menjadi profil muslim sejati yang mendapatkan kedudukan yang tinggi dan berhak untuk diteladani. Allah SWT berfirman, “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, ‘Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.’” (al-Baqarah: 124) Dalam ayat yang lain Allah berfirman, “Sungguh, telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya.” (al-Mumtahanah: 4) Dan begitulah konsekuensi dari sebuah keimanan. Ia tidak bisa dibeli dengan harga yang murah, sebab balasannya adalah surga yang kekal abadi. Akan tetapi, patut diingat bahwa semakin tinggi keimanan kita, akan semakin besar pula ujiannya. Semakin sulit ujian tersebut, maka semakin ia membutuhkan pengorbanan yang besar pula. Dan semakin besar pengorbanan yang kita berikan demi agama Islam, akan semakin tinggi pula balasan dan kedudukan kita disisi Allah. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah; sehingga mereka membunuh atau terbunuh, (sebagai) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan demikian itulah kemenangan yang agung.” (at-Taubah: 111) Saudaraku, yakinlah bahwa pengorbanan yang kita berikan untuk agama Islam, baik pengorbanan jiwa, harta, waktu, keluarga, dan lainnya, pasti akan dibalas dengan balasan yang sebaik-baiknya dari Allah. Ia tidak akan hilang begitu saja dan berakhir dengan kesia-siaan. Cukuplah kita bercermin kepada Nabi Ibrahim, Nabi Yusuf, Rasulullah saw dan yang lainnya, bagaimana Allah memberikan kedudukan yang tinggi bagi mereka sebagai balasan atas pengorbanan yang telah mereka persembahkan untuk Allah.