Al-Irsyad Butuh Narasi Baru dan Berkelanjutan
Al-Irsyad adalah salah satu organisasi terbesar di Indonesia. Iya besar, historisnya. Jika ingin ditambahkan yaitu nama besar Syaikh Ahmad Surkati. Selebihnya, Tidak ada jaminan dan ukuran yang jelas bahwa selain dua hal itu, juga dapat disebut sebagai pertanda kebesaran Al-Irsyad. Entah itu lembaga pendidikan, cendikiawan, ataupun gedung sekretariatnya. Jika pertanyaan itu ditujukan pada kalangan Irsyadi garis lucu, maka jawabannya adalah: “konfliknya yang besar.” Jawaban itu ada kiranya benar. Dualisme di Al-Irsyad bahkan berujung di Mahkamah Agung dan menghasilkan organisasi sempalan. Syukur alhamdulillah bahwa konflik baru-baru ini dapat diselesaikan dengan musyawarah, solusi yang memang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Konflik yang masih lestari ini bisa jadi tak kunjung padam karena tidak ada narasi lain dimunculkan dan dipelihara oleh Irsyadiyyin di seluruh Indonesia. Narasi lain itulah yang mesti dimunculkan untuk menutupi dan mengalihkan pandangan dari ‘bau konflik’ terus menerus. Irsyadiyyin se-Nusantara perlu difokuskan pada narasi-narasi baru nan menarik perhatian. Tentunya harus dikelola dan dijaga baik oleh para pimpinan. Narasi Ideologi Sebagai Basis Kelahiran dan Kelestarian Organisasi Jika dipandang dari sejarah berdirinya, Al-Irsyad lahir dari narasi kesetaraan dan pendidikan modern yang digaungkan oleh Syaikh Ahmad Surkati. Konflik dengan ba’alwi memang menjadi percikan awal, namun konflik itu bukanlah faktor tunggal, justru hanya kausalitas saja. Jika momen konflik itu berdiri sendiri dan tidak diberi narasi baru oleh Syaikh Ahmad, tidak bakal berdiri Al-Irsyad. Sangat memungkinkan jika Syaikh Ahmad hanya fokus pada penyelesaian konflik, maka beliau akan berdialog tertutup, mengadakan konferensi pers, berterima kasih dan meminta maaf kepada semua pihak, lalu pamit pulang dan pulang ke Sudan atau ke Mekkah untuk mengajar. Namun ternyata beliau tidak seperti itu. Syaikh Ahmad yang didukung oleh pengikut setianya berusaha untuk menjadikan momen konflik itu sebagai titik menghidupkan narasi kesetaraan dan pendidikan modern. Narasi itu kemudian disebar dan ditanamkan sebagai ideologi kepada para pengikutnya di seluruh Indonesia. Sehingga mereka semua bersemangat untuk mendirikan cabang, sekolah, dan mengembangkan aktivitas organisasi di tiap-tiap daerah. Narasi terbukti menghasilkan perkumpulan, semangat, gerakan, hingga harta dan gedung-gedung bertingkat. Konflik memang akan terus ada sebagai hukum alam atas adanya perbedaan pendapat. Namun dengan sistem kelola organisasi dan kelola narasi yang apik, semangat dan gerakan itu akan terus ada. Tengok saja organisasi sebelah yang gencar mengumandangkan narasi Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan. Terlepas dari benar salahnya, narasi mereka memang terbukti menghasilkan sesuatu. Namun kini, narasi apa yang dibuat oleh Al-Irsyad Al-Islamiyyah? Haduh, menyebut Al-Irsyad saja mesti ditambahkan Al-Islamiyyah. Jika tidak, nanti dikira partisan sempalan. Tidak simpel, tidak modern. Minimnya Produksi/tor Narasi Soal ketiadaan narasi ini tidaklah perlu menyalahkan siapapun. Anggaplah ini kesalahan bersama. Karena baik di pusat maupun di daerah sama-sama tidak memiliki narasi dan pembuatnya. Ormas memang memiliki kantor pusat di ibukota, namun para tokohnya tersebar di berbagai daerah. Sebagi pimpinan cabang maupun sebagai sesepuh organisasi. Dalam pengamatan yang singkat dan sempit, sangat sulit menemukan cendikiawan maupun ustadz-ustadzah dari kalangan Al-Irsyad, terlebih yang murni lahir dari rahim organisasi berlambang hati dan sayap ini. Padahal, cendikiawan dan asatidz adalah corong penyuaraan ide dan gagasan organisasi. Dengan merekalah, narasi organisasi memiliki landasan, baik landasan akademis maupun landasan agama. Tanpa kedua landasan itu, narasi yang dihasilkan tidaklah memiliki kekuatan pertanggung jawaban. Organisasi, komunitas atau perkumpulan manapun memang tidak selalu membutuhkan gagasan yang valid dan mempunyai landasan akademis untuk bisa bersuara dan populer di mata masyarakat. Hanya bermodalkan sensasi atau pemenuhan keinginan, popularitas dan follower akan dapat diraih. Terlebih jika memiliki uang yang cukup banyak, pasukan pun bisa dibentuk. Namun, itu hanya bersifat sementara. Adapun ormas butuh berkelanjutan. Bagaimana mungkin dapat menciptakan narasi ideal namun tidak memiliki pembuatnya? Anggaplah jika ada satu pembuat, namun siapa yang dapat menyebarkan dan menanamkannya di daerah-daerah? Apabila ada kesalahan tafsiran di akar rumput, siapa yang akan memberikan pemahaman? Dan jika terjadi kontra narasi yang dilontarkan oleh pihak lain, siapa yang akan memberikan klarifikasi? Pertanyaan-pertanyaan itu pasti muncul di berbagai kalangan, baik dari internal maupun eksternal. Maka, pembuat narasi mesti benar-benar orang yang berkompeten di bidangnya. Selain memiliki landasan pemikiran yang kokoh, aspek komunikatif dalam tata bahasa sang narasi juga menjadi hal krusial. Hal ini penting agar narasi benar-benar tersampaikan dengan padat, jelas, dan mengurangi potensi kesalah pahaman. Inilah yang dirasa minim di Al-Irsyad. Ustadz memang ada banyak. Namun Ustadz yang ‘bisa menulis’, tak yakin melebihi jari-jari di satu tangan. Lulusan S2 dan S3 memang ada banyak. Namun di sebuah Universitas sekalipun, tak semua dosen ‘bisa menulis’, apalagi di Al-Irsyad. Maka soal narasi, tidak hanya narasi itu sendiri masalahnya. Pencipta narasi juga menjadi hal krusial yang sama pentingnya. Jika keduanya tidak dipenuhi, selamanya tidak aka nada gagasan-gagasan yang dikumandangkan dan diperjuangkan oleh Al-Irsyad. Inkubator Narator Sebagai alternatif solusi atas permasalahan yang dikemukakan di atas, maka jawabannya adalah pembibitan, penyiapan, dan pelatihan narator-narator baru Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Langkah ini sebagai alternatif solusi, perlu segera dipersiapkan dan diadakan. Terlebih jika berorientasi jangka panjang. Jika Ustadz tidak ada dan cendikiawan juga tidak ada, maka satu-satunya yang perlu ada adalah pencetakan ustadz dan cendikiawan yang dapat membuat narator. Jika ketiganya tidak ada, maka beginilah nasib Al-Irsyad dalam 10 tahun ke depan. Namun jika dipersiapkan sejak dini, tidak menutup kemungkinan jika tahun depan sudah muncul narasi pemersatu Irsyadi. Salah seorang kawan dari Muhammadiyah, mendapat pelatihan kepenulisan yang diadakan oleh PW Muhammadiyah Jawa Timur. Kawan tersebut tidak memiliki latar belakang menulis sama sekali. Dia hanya suka membaca buku, dengan daya baca yang tak juga tinggi. Namun setelah pelatihan itu, ia menjadi aktif menulis. Story whatsapp tidak lepas dari update tulisannya di situs PWM Jatim. Hampir tiap hari ia menulis. Kawan tersebut sering diminta untuk hadir sebagai reporter dalam kegiatan-kegiatan Muhammadiyah, baik dari sekolah, rumah sakit, hingga kegiatan Ortom yang bersifat non-formal. Dalam hal ini, Muhammadiyah dan seorang kawna tersebut sama-sama diuntungkan. Begitu pula salah seorang kawan lain dari NU. Kita tahu bahwa Nahdliyyin memiliki banyak portal yang tak kalah bagusnya dari situs resmi NU. Nah, sang kawan tersebut diajak untuk menjadi kontributor di salah satu portal tersebut. Jika dilihat dari kualitas tulisannya, tidak sampai pada tahap ‘memenuhi kualitas akademik’. Namun memang bukan itu tujuan rekrutmennya. Mereka hanya butuh penerus. Pelibatan anak-anak muda ormas adalah untuk mengkader pencetak dan pelestari narasi.
Al-Irsyad Butuh Narasi Baru dan Berkelanjutan Read More »