Fahmi Bahreisy

Pengorbanan untuk Islam

Setiap manusia memiliki naluri untuk mempertahankan apa yang ia cintai dan ia senangi. Hal ini sesuai dengan fitrah yang telah Allah tanamkan dalam setiap jiwa. Sebagaimana firman Allah SWT, “Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (Ali ‘Imraan: 14) Dengan naluri itu pula ia berusaha untuk mendapatkan pasangan hidup, kekayaan, keturunan, kedudukan dan lainnya. Kondisi ini dialami oleh setiap manusia tanpa terkecuali termasuk orang-orang yang beriman. Hanya saja orang-orang yang beriman kepada Allah dapat mengontrol naluri tersebut sesuai dengan aturan Allah walaupun hal itu bertentangan dengan syahwat dan keinginannya. Mereka sadar bahwa keimanan menuntutnya untuk taat dan tunduk pada aturan Allah, sebagaimana yang tertera dalam sebuah hadits, “Iman bukanlah sebuah angan-angan belaka, akan tetapi yang dikatakan iman ialah yang tertanam kuat dalam hati dan dibuktikan dengan amal perbuatan.” Ketika manusia memiliki keimanan yang benar kepada Allah, akan tumbuh di dalam dirinya kesiapan untuk menjalani segala yang diperintahkan dan ditentukan oleh Allah. Ia pun siap untuk berkorban demi mendapatkan ridha dari Allah. Bahkan, ia rela mengorbankan apa yang ia miliki dan cintai hanya untuk Allah, sebab rasa cintanya kepada-Nya mengalahkan rasa cintanya kepada yang lain-Nya. Sejauh mana kekuatan iman yang dimiliki oleh seorang muslim tidak hanya bisa dibuktikan dengan sebatas pengakuan lisan saja, tetapi pengorbanan yang ia berikan untuk Allah lah yang bisa membedakan siapakah yang memiliki keimanan yang kokoh. Semakin kuat keimanannya, maka akan semakin besar pengorbanan yang akan ia berikan untuk Islam. Nabi Ibrahim merupakan sosok panutan yang bisa dijadikan contoh dalam hal pengorbanannya untuk Allah. Berbagai macam ujian telah ia lewati dengan pengorbanan yang tidak sedikit. Sejak masa muda hingga menjadi orang tua, ujian demi ujian datang silih berganti. Dimulai dari ujian yang datang dari ayahnya sendiri, kemudian kaumnya, hingga ujian untuk menyembelih putranya Ismail. Namun, semua ujian itu berhasil ia jalani dengan sempurna. Ia rela mengorbankan apa yang ia cintai untuk mendapatkan ridha-Nya, sehingga jadilah Nabi Ibrahim menjadi profil muslim sejati yang mendapatkan kedudukan yang tinggi dan berhak untuk diteladani. Allah SWT berfirman, “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, ‘Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.’” (al-Baqarah: 124) Dalam ayat yang lain Allah berfirman, “Sungguh, telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya.” (al-Mumtahanah: 4) Dan begitulah konsekuensi dari sebuah keimanan. Ia tidak bisa dibeli dengan harga yang murah, sebab balasannya adalah surga yang kekal abadi. Akan tetapi, patut diingat bahwa semakin tinggi keimanan kita, akan semakin besar pula ujiannya. Semakin sulit ujian tersebut, maka semakin ia membutuhkan pengorbanan yang besar pula. Dan semakin besar pengorbanan yang kita berikan demi agama Islam, akan semakin tinggi pula balasan dan kedudukan kita disisi Allah. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah; sehingga mereka membunuh atau terbunuh, (sebagai) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan demikian itulah kemenangan yang agung.” (at-Taubah: 111) Saudaraku, yakinlah bahwa pengorbanan yang kita berikan untuk agama Islam, baik pengorbanan jiwa, harta, waktu, keluarga, dan lainnya, pasti akan dibalas dengan balasan yang sebaik-baiknya dari Allah. Ia tidak akan hilang begitu saja dan berakhir dengan kesia-siaan. Cukuplah kita bercermin kepada Nabi Ibrahim, Nabi Yusuf, Rasulullah saw dan yang lainnya, bagaimana Allah memberikan kedudukan yang tinggi bagi mereka sebagai balasan atas pengorbanan yang telah mereka persembahkan untuk Allah.

Pengorbanan untuk Islam Read More »

Pemimpin Cermin Masyarakat - Pemuda Al-Irsyad

Pemimpin: Cermin Masyarakat

Seorang pemimpin bagaikan cermin. Menjadi pemimpin bukan persoalan yang mudah. Ia harus melalui beberapa tahapan persyaratan: siap mental, siap fisik, dan siap berkorban. Apabila ketiga unsur pokok ini sudah dijiwai, dengan sendirinya proses selanjutnya bisa membentuk perwatakan. Setelah ibda binafsika (mulailah pada dirimu sendiri), sabda Rasulullah, kemudian beliau mengatakan kullu raa’in mas’uulun ‘an ra’iyyatihi  (setiap pemimpin itu bertanggung jawab terhadap yang dipimpin). Pada diri pemimpin, segala perbuatannya adalah manifestasi dan ungkapan semua rahasia yang terpendam pada dirinya. Perkataannya seiya dengan perbuatannya. Kalau ia menyuruh seseorang berbuat kebaikan, maka ia adalah orang yang paling teladan dalam hal itu. Kalau ia mencegah seseorang berbuat kemungkaran, maka ia adalah orang yang paling jauh dari perbuatan itu. Suatu hari, Abu Dzar Alghifari pernah mencalonkan dirinya untuk ditempatkan memimpin di suatu daerah: “Ya Rasulullah, manfaatkan aku memimpin di suatu wilayah.” Rasulullah menepuk-nepuk pundak Abu Dzar sahabat kesayangannya itu dan mengatakan: “Wahai Abu Dzar, kau ini lemah, sedangkan amanat yang bakal kau emban ini berat, dan bisa membawa celaka serta penyesalan di hari kiamat nanti, kecuali bagi yang berani dengan tegas menegakkan segala kebenaran dan menunaikan segala kewajiban tanggungjawabnya.” Suatu hal yang wajar, apabila seorang pemimpin rakyat itu bertanggungjawab atas segala perbuatannya terhadap rakyat yang pernah mengangkatnya. Begitu juga pemimpin dalam suatu organisasi. Setiap muktamar telah digariskan bersama arah yang dituju oleh organisasi ini. Wajar kalau PSI mengarah kepada Zionis dan sekuler. Wajar kalau PKI itu mengarah kepada komunisme. Wajar kalau organisasi Al-Irsyad itu mengarah kepada mengajarkan ajaran Islam yang benar pada setiap muslim. Dan tidak wajar kalau perguruan Al-Irsyad itu memproduk manusia-manusia sekuler yang tidak mengerti agama sama sekali. Kalau ingin mencipta manusia sekuler sebaiknya jangan mengotori wadah Al-Irsyad yang sudah jelas bertugas memproduk ulama dan cendekiawan Muslim. Setiap orang yang menamakan dirinya sebagai pemimpin dalam tubuh Al-Irsyad, apakah ia di pusat ataukah di cabang, di Perhimpunan atau di Yayasan, atau bertugas di mana saja, ia dituntut oleh masyarakat dan Allah swt. menunaikan amanat yang telah digariskan. Dan tidak membiarkan setiap persoalan itu lewat begitu saja dan masa bodoh. Benar kata Umar ibnul-Khattab: “Sesungguhnya Amirul-mukminin itu salah seorang dari kalian, hanya saja ia mengemban beban tugas yang lebih berat dari kalian.” Jelas sekali seorang pemimpin itu seperti berdiri di depan sebuah cermin.*   Oleh: Mustafa Mahdamy (Pendiri dan ketua umum pertama PB PELAJAR AI-IRSYAD, 1954-1964) (Dikutip dari Majalah “Suara Al-Irsyad”, No. 3 Tahun XI, Agustus 1981)

Pemimpin: Cermin Masyarakat Read More »

Empat Kriteria Pemimpin dalam Islam - Pemuda Al Irsyad

4 Kriteria Pemimpin dalam Islam

Kepemimpinan dalam Islam merupakan perkara penting dalam kehidupan beragama setiap muslim. Ia merupakan unsur yang sangat vital dalam tegaknya agama Islam, sebab syari’at Islam hanya bisa ditegakkan secara sempurna manakala kepemimpinan dalam sebuah negara atau wilayah dikuasai oleh orang yang memiliki perhatian terhadap syariat itu sendiri. Sebaliknya, tatkala kepemimpinan dipegang oleh mereka yang anti terhadap syariat Islam dan tidak suka terhadap aturan-aturan Allah, maka sulit sekali Islam akan tegak di dalamnya. Imam Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Ahkam As-Sulthaniyyah mengatakan, “Tidak ada agama yang kehilangan kekuasaan/kepemimpinan, kecuali aturan-aturannya juga akan tergantikan dengan aturan yang lain dan simbol-simbol dari agama tersebut juga akan dilenyapkan dari wilayah tersebut.” Oleh sebab itu, memilih pemimpin merupakan perkara yang sangat penting. Ia tidak hanya sekedar untuk menentukan siapa yang berkuasa, akan tetapi lebih dari itu, ia akan menentukan tegak atau tidaknya aturan Islam. Maka dari itu, sebagai mukmin kita harus selektif dalam menentukan pemimpin agar tidak salah dalam memilih. Kita harus mengetahui siapakah pemimpin yang layak untuk dipilih dan bagaimana kriteria pemimpin yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya? Kriteria pemimpin yang yang pertama ialah dia adalah seorang mukmin. Sebab bagaimana mungkin seorang pemimpin akan membela agama Islam kalau ia adalah orang yang kafir yang tidak percaya kepada aturan Allah? Bagaimana mungkin ia akan memperhatikan ajaran-ajaran Rasulullah, jika ia adalah orang yang tidak percaya akan kenabian Muhammad SAW? Oleh sebab itu, Allah secara tegas memerintahkan bahwa pemimpin yang patut untuk ditaati adalah pemimpin dari kalangan kaum mukminin, sebagaimana yang termaktub dalam Surat An-Nisa’ : “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.” (QS. An-Nisa’: 59). Ayat ini tertuju kepada orang-orang yang beriman. Dan kita perhatikan, kata-kata “minkum (diantara kamu)” menunjukkan bahwa pemimpin yang wajib untuk ditaati ialah pemimpin yang berasal dari kalangan orang-orang mukmin. Selain itu, banyak sekali keterangan di dalam Al-Qur’an yang melarang kaum muslimin untuk bersikap loyal kepada orang-orang kafir dan menjadikan mereka sebagai pemimpin. Barang siapa yang rela dan menerima pemimpin yang bukan dari orang Islam, maka hal itu berarti ia telah berwala’ (loyal) kepada mereka. Ibnul Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Menjadikan orang kafir sebagai pemimpin merupakan bagian dari sikap loyalitas dia kepada orang kafir. Allah telah menetapkan bahwa barang siapa yang menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka ia termasuk bagian dari mereka. Tidaklah sempurna iman seseorang kecuali dengan cara berlepas diri dari mereka. “ Kritieria pemimpin menurut Islam yang kedua ialah adil. Selain ia adalah seorang mukmin, ia juga adalah seorang yang adil. Adil dalam bersikap dan menerapkan hukum dan peraturan kepada siapa saja. Tidak membeda-bedakan apakah ia berasal dari kelompok atau kalangan manapun. Tidak mengistimewakan kalangan tertentu dan mengucilkan yang lainnya.  Inilah yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para khulafaur rasyidin. Bahkan Rasulullah SAW pernah menegur keras Usamah bin Zaid yang ingin membela salah satu kaum karena telah melakukan pencurian. Ia ingin meminta keringanan hukuman kepada Rasulullah SAW. Namun, Rasulullah mengecam keras sikap tersebut dengan berkata, “Sesungguhnya kehancuran umat-umat terdahulu disebabkan karena mereka menegakkan hukuman bagi kalangan yang lemah saja, namun ia tidak menerapkannya kepada orang-orang dari kalangan atas. Demi Allah, seandainya Fatimah mencuri, pasti aku akan potong tangannya.” Kriteria yang ketiga ialah ia adalah seseorang yang memegang amanah terhadap janji-janjinya. Amanah untuk menjaga dan mengatur kekuasaan, hak dan kewajibannya sebagai seorang pemimpin. Sebab, kekuasaan yang telah diserahkan kepadanya merupakan tanggung jawab yang harus ia jalankan secara benar. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menyerahkan amanah kepada yang berhak.” (QS. an-Nisa’: 58). Dalam ayat yang lain Ia juga berfirman, “Sesungguhnya sebaik-baik orang yang kau pilih ialah orang yang kuat dan amanah.” (QS. al-Qashash: 26). Yang keempat ialah kuat, baik secara fisik, mental, dan pikiran. Hal ini penting agar kekuasaan tersebut berjalan dengan lancar. Ia tidak mudah jatuh sakit dan lemah, sebab hal ini akan menjadikannya tidak fokus dalam menjalankan kekuasaan. Ia juga tegas dalam bersikap, agar tidak dipermainkan oleh rakyatnya. Tentu tegas bukan berarti bersikap kasar dan serampangan, tetapi ketegasan yang disertai dengan sikap yang bijak dan santun. Ia juga kuat dalam pikiran dalam artian memiliki wawasan yang luas serta kecermatan menentukan kebijakan. Pemimpin seperti inilah yang diinginkan oleh Allah SWT, sebagai tertera dalam surat Al-Qashash diatas dan juga sebagaimana perkataannya Nabi Yusuf a.s. “Jadikanlah aku sebagai penjaga kas negara, sebab aku adalah orang yang memegang amanah dan juga berpengetahuan.” (QS. Yusuf: 55). Mukmin, adil, amanah dan kuat adalah beberapa kriteria pemimpin yang dapat menjadi ukuran bagi setiap mukmin dalam memilih pemimpinnya. Sebab, ini adalah perkara penting dalam kehidupan beragama kita. Kepemimpinan dalam Islam merupakan bagian dari ibadah, yang akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT. Semoga Allah memberikan kita para pemimpin yang berkhidmat untuk Islam dan membawa kemashlahatan bagi umat Islam. Amiin.

4 Kriteria Pemimpin dalam Islam Read More »